Luas lahan kakao di Kabupaten Luwu Utara mengalami penurunan yang signifikan dalam rentang waktu tahun 2012 hingga 2021. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, luas lahan kakao yang awalnya mencapai 46.185 hektar pada tahun 2012, kini telah berkurang menjadi 38.435 hektar. Penurunan ini menunjukkan adanya permasalahan dalam pengelolaan kakao di wilayah tersebut.
Salah satu faktor yang menyebabkan penurunan ini adalah berkurangnya daya dukung lingkungan. Perubahan lingkungan yang tidak terjaga dengan baik dapat menghambat pertumbuhan dan produktivitas tanaman kakao. Selain itu, ancaman bencana alam juga berperan penting dalam penurunan luas lahan kakao. Banyak kebun masyarakat yang sering tergenang air secara berkala saat musim penghujan, sehingga tanaman kakao tidak dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal.
Dalam analisis tutupan lahan di Kabupaten Luwu Utara, telah dilakukan interpretasi untuk mengidentifikasi sebaran kakao dan penggunaan lahan lainnya. Hasilnya menunjukkan adanya tren penurunan luas hutan sejak 2010 hingga 2021. Penurunan tutupan lahan hutan pada periode 2016-2021 lebih signifikan dibandingkan periode 2010-2016. Pada periode 2010-2016, tercatat luas degradasi dan deforestasi hutan sebesar 5.593 hektar dan 723 hektar, namun angka tersebut meningkat secara drastis pada periode 2016-2020 menjadi 12.036 hektar dan 12.370 hektar. Hal ini menunjukkan adanya tantangan serius dalam pelestarian hutan di Kabupaten Luwu Utara.
Dalam analisis dinamika tutupan lahan kakao di Kabupaten Luwu Utara, terlihat bahwa kelas kakao agroforestri dan monokultur tidak mengalami perubahan signifikan dalam hal luas lahan. Namun, terdapat peningkatan sebesar 9% pada tutupan lahan kebun campuran, dengan luas area mencapai 11.704 hektar dalam rentang waktu 2016-2021. Di sisi lain, kelapa sawit monokultur, sawah, sagu, dan kopi agroforestri mengalami penurunan luas lahan.
Dalam jangka waktu yang akan datang, komoditas kakao diperkirakan akan terus menghadapi tekanan akibat pertumbuhan komoditas lainnya. Penurunan produktivitas kakao juga menjadi faktor yang memicu perubahan penggunaan lahan. Salah satu penyebab penurunan produktivitas adalah keberadaan kebun kakao yang sudah tua. Kakao tua didefinisikan sebagai tanaman kakao yang melebihi usia produktifnya, yaitu antara 7 hingga 25 tahun.
Walaupun demikian, Kabupaten Luwu Utara memiliki kesesuaian lahan yang cukup baik untuk komoditas kakao. Dengan kesesuaian lahan yang baik, pertanian kakao di Kabupaten Luwu Utara memiliki potensi yang besar untuk berkembang dan memberikan kontribusi yang signifikan dalam perekonomian daerah. Penanaman kakao dalam sistem agroforestri dapat memberikan manfaat tambahan dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan keseimbangan ekosistem.
Meskipun petani memiliki potensi dalam sektor pertanian, namun kapasitas mereka dalam menerapkan praktik pertanian yang baik (good agricultural practices) masih terbatas. Keterampilan teknis dan pengetahuan mengenai praktik pertanian yang baik menjadi kendala utama yang dihadapi oleh petani di Luwu Utara.
Penyuluhan dan pelatihan merupakan upaya yang telah dilakukan oleh berbagai pihak, seperti pemerintah, swasta, perguruan tinggi, dan organisasi non-pemerintah/LSM, untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada petani kakao. Namun, diperlukan pendampingan yang lebih terencana guna meningkatkan efektivitasnya dalam mengatasi persoalan yang dihadapi oleh petani.
Pendampingan tersebut harus mampu mengakomodasi kebutuhan individual petani dan menghadirkan solusi yang sesuai dengan kondisi mereka. Materi pelatihan juga perlu diperbarui dan disesuaikan dengan perkembangan teknologi terbaru serta tantangan yang dihadapi dalam pertanian kakao.
Di beberapa kecamatan sentra kakao, masih terdapat keterbatasan dalam penyediaan saprodi, seperti bibit dan pupuk. Untuk itu petani mulai didorong untuk melakukan pembibitan sendiri dengan memperhatikan faktor-faktor seperti intensitas cahaya, durasi penyiraman, pemupukan, pengendalian hama, dan penjarangan yang dilakukan secara berkala.
Namun, petani menghadapi tantangan dalam mendapatkan bibit unggul karena kurangnya izin distribusi. Masalah ini menjadi kendala dalam memperoleh bibit berkualitas yang diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas kakao yang dihasilkan.
Petani kakao di Luwu Utara masih belum melakukan proses fermentasi pada tahap pasca panen. Salah satu alasan utamanya adalah kurangnya insentif harga untuk produk kakao yang telah melalui proses fermentasi. Keterbatasan dalam mencapai kualitas fermentasi standar internasional (ISO 2451-2014) juga menjadi kendala, mengingat proses fermentasi yang membutuhkan penanganan kompleks seperti fermentasi yang sempurna, menghasilkan aroma khas kakao, dan tidak mengandung kotoran fisik, serangga, atau jamur. Praktik penjualan produk kakao oleh petani saat ini masih bersifat konvensional.
Dalam upaya mencapai keberlanjutan, perlu dilakukan pengelolaan yang bijaksana terhadap sumber daya alam, perlindungan terhadap lingkungan hidup, dan peningkatan ketahanan terhadap bencana. Dengan demikian, pengelolaan kakao yang lestari akan memberikan manfaat jangka panjang bagi petani, lingkungan, dan masyarakat secara keseluruhan.